FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah Indonesia resmi mengambil alih area layanan navigasi penerbangan atau Flight Information Region (FIR) di atas Kepulauan Riau dan Natuna. Sejak 1946 lalu, penerbangan di atas wilayah kedaulatan Republik Indonesia itu dikelola Singapura.
Presiden Joko Widodo menyampaikan keterangan soal Kesepakatan Penyesuaian FIR secara virtual melalui akun Youtube Sekretariat Presiden, Kamis (8/9/2022).
“Berkat kerja keras semua pihak, kita telah berhasil mengembalikan pengelolaan ruang udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna kepada NKRI,” kata Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pengesahan Perjanjian FIR Indonesia dan Singapura telah dibuat dalam peraturan presiden. Presiden Jokowi mengaku telah menandatangani peraturan presiden tersebut.
Setelah penyerahan pengelolan area layanan navigasi dari Singapura, luas FIR Indonesia bertambah 249.575 kilometer persegi. Pertambahan luas ini diakui secara internasional sebagai bagian dari FIR Jakarta.
Kesepakatan penyesuaian FIR diakui Jokowi sebagai langkah maju atas pengakuan internasional terhadap ruang udara Indonesia. Sekaligus meningkatkan jaminan keselamatan dan keamanan penerbangan.
Jokowi juga menyebut penyerahan pengelolaan area layanan navigasi atau Flight Information Region (FIR) di atas Kepulauan Riau dan Natuna dari Singapura bisa meningkatkan pendapatan bukan pajak.
Setelah penyesuaian kesepakatan area layanan navigasi atau Flight Information Region (FIR), maka pesawat yang melintas di atas Kepulauan Riau dan Natuna akan dikenakan biaya atau charge.
Selama ini atau sebelum penyesuaian area layanan navigasi, pesawat yang hendak melintas di atas Kepulauan Riau dan Natuna harus kontak terlebih dahulu ke AirNav Singapura. Bahkan penerbangan domestik sekalipun harus melapor ke layanan penerbangan Singapura ketika hendak memasuki Kepulauan Riau.
Sementara pada penerbangan internasional seperti Hongkong tujuan Jakarta, harus melapor ke operator penerbangan Singapura, saat hendak memasuki wilayah Indonesia di Perairan Natuna.
Upaya Pemerintah Indonesia mengakhiri status quo ruang udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna telah dilakukan sejak 1995 lalu. Di bawah pemerintaha Presiden Jokowi, upaya pengambilalihan itu lebih gencar dilakukan.
Setelah penyesuaian kesepakatan FIR, Indonesia memiliki independensi mengatur lalu lintas pesawat komersial maupun kenegaraan. Penerbangan domestik maupun internasional yang melintas di atas ruang udara Natuna dan Kepulauan Riau, kini dilayani AirNav Indonesia.
Pemerintah Indonesia juga dapat menempatkan anggota Otoritas Pelayanan Navigasi Penerbangan/ATC sipil dan militer di ATC Singapura.
Hanya saja, kesepakatan pengelolaan ruang udara di wilayah Natuna dan Kepulauan Riau tidak sepenuhnya dikelola oleh Pemerintah Indonesia. Dalam lima elemen kesepakatan yang ditandatangani Pemerintah Indonesia dan Singapura, kedua negara akan bekerja sama memberikan Penyediaan Jasa Penerbangan (PJP) di sebagian area FIR Indonesia yang berbatasan dengan FIR Singapura.
Indonesia memberikan delegasi PJP pada area tertentu di ketinggian 0-37.000 kaki kepada otoritas penerbangan Singapura. Di area tertentu tersebut, ketinggian 37.000 kaki ke atas tetap dikontrol Indonesia.
Dengan begitu, Singapura tetap banyak memetik biaya atau charge dari PJP. Betapa tidak, penerbangan pesawat komersial umumnya berada di ketinggian 0-37.000 kaki.
Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan menanggapi sebagian area FIR Indonesia yang masih tetap dikelola oleh Singapura. Menurutnya, penerbangan dari dan ke Singapura tetap harus memiliki “approach line” yang menggunakan sebagian ruang udara Indonesia.
“Kan (pesawat) dari Singapura ketika harus take off, tidak bisa langsung tegak lurus. Mesti butuh waktu dan ruang untuk naik,” kata Luhut.
Riwayat Singapura mengatur ruang udara yang merupakan wilayah Indonesia sejak 1946 silam. Saat itu, konvensi International Civil Aviation Organization (ICAO) di Dublin, Irlandia, memercayakan Singapura dan Malaysia untuk mengelola FIR Kepri.
Pengendalian FIR Kepri sektor A dan C dikelola Singapura, sedangkan Malaysia mengendalikan sektor B. Pertimbangan penyerahan pengelolaan wilayah ruang udara Indonesia saat itu karena
Singapura yang merupakan koloni Inggris dianggap lebih mumpuni secara peralatan dan SDM dibanding Indonesia. (rif/fajar)